Menutup Celah-Celah Kesyirikan

Menutup Celah-Celah Kesyirikan

📜 MENUTUP CELAH-CELAH KESYIRIKAN
Khotbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
أَمَّا بَعْدُ:
أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى…
Kaum muslimin rahimakumullah,
Prinsip dasar yang membuat seorang muslim bahagia dan eksistensinya membuatnya selamat, aman dan sentosa adalah penghambaan (ubudiyah) secara totalitas kepada Tuhan semesta alam (Rabbul Alamin). Atas dasar itulah manusia diciptakan dan diwujudkan.
Firman Allah :
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ [ الذاريات / 56]
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”
Artinya mereka harus memurnikan ibadah (kepada Allah semata) sebagaimana pernyataan Ibnu Abas –radhiyallahu anhuma-, bahwa Tauhid (peng-esa-an ) Allah merupakan sarana segala kesuksesan; di mana pengangungan dan pemurnian ibadah kepadaNya adalah penyebab keberuntungan, bahkan faktor utama kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.
Landasan terkuat bagi keamanan dan kesentosaan adalah penegakan tauhid kepada Allah yang Maha Esa, Tuhan satu-satunya, Yang menjadi tumpuan harapan (bagi semua makhluk). Maka hendaklah seorang hamba memurnikan tujuan ibadah kepada Allah semata , memurnikan kecintaan dan pengagungan kepada Allah semata, memurnikan perasaan takut, kekhawatiran, pengharapan dan permohonan kepada Allah semata, memurnikan aspek lahir dan batinnya dalam menentukan arah dan kehendak hanya kepada Allah semata.
Firman Allah –Subhanahu wa Ta’ala– kepada Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– :
Firman Allah :
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ، لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ [ الأنعام / 162- 163]
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. Qs Al-An’am :162
Firman Allah : فَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ فَلَهُۥٓ أَسۡلِمُواْۗ [ الحج/34] “Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.” Qs Al-Haj : 34
Firman Allah :
وَأَنِيبُوٓاْ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَأَسۡلِمُواْ لَهُۥ [ الزمر/ 54] “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya.” Qs Al-Zumar : 54 Saudara sesama muslim !
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sangat antusias memantapkan pondasi yang agung ini dalam pengarahan-pengarahan, seruan-seruan dan rekam jejak beliau, bertolak dari keinginan dan kecintaan beliau akan keselamatan umat dan para pengikut beliau.
Itulah sebabnya, maka beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– membuntu segenap jalan dan mencegah segala cara yang dapat mencemari kemurnian tauhid atau berpengaruh terhadap kesempurnaan tauhid, atau melukai esensi tauhid.
Di antara pengarahan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– terkait dengan upaya mewujudkan maksud luhur dan tujuan agung ini ialah pesan beliau yang merupakan salah satu pondasi agama ini dan merupakan prinsip yang amat kuat untuk membentengi substansinya, yakni tauhid dan keimanan.
Ibnu Abas –radhiyallahu anhuma– berkata, “Aku pernah berada di belakang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pada suatu hari, beliau berpesan : “ Wahai bocah, sungguh aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat; Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu dapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya umat manusia seluruhnya berkumpul (bersepakat) untuk memberikan manfaat kepadamu, tidaklah mereka dapat memberikan manfaat kepadamu sedikitpun kecuali karena Allah telah menetapkannya untukmu. (Demikian pula) seandainya seluruh umat manusia bersepakat menjatuhkan suatu bahaya atasmu, tidaklah mereka dapat membehayakanmu sedikitmun kecuali karena Allah telah menetapkannya atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering”. HR Tirmizi, dikatakannya hadis Hasan Shahih.
Benar, ini merupakan suatu pesan yang di dalamnya terkandung penanaman pengagungan kepada Allah dalam jiwa manusia, dan bahwa Allah yang di tanganNya terletak segala kunci berbagai urusan, di tanganNya pula terletak penyelesaian persoalan-persoalan yang rumit, di sisi-Nya keberadaan perbendaharaan alam semesta dan kunci segala sesuatu, hanya Dia-lah yang dapat memenuhi segala kebutuhan dan memperkenankan permohonan hamba-hambaNya. Semua membutuhkan Allah, sangat memerlukan kedermawanan-Nya, pemberian-Nya dan kemurahan-Nya.
Firman Allah :
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ [ النمل / 62]
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan”.Qs An-Naml :62
Firman Allah :
وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرّٖ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يُرِدۡكَ بِخَيۡرٖ فَلَا رَآدَّ لِفَضۡلِهِۦۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۚ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ [ يونس / 107]
“ Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayan.” Qs Yunus : 107
Suatu pesan agung disampaikan oleh Pemimpin para nabi dan rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang ditujukan kepada setip muslim agar menjadikan Allah –Subhanahu wa Ta’ala– semata sebagai tujuan satu-satunya dalam memenuhi hajat hidup, menghilangkan keprihatinan dan kesulitannya.
Firman Allah :
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ [ الفاتحة / 5]
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” Qs Al-Fatihah :5
Suatu pesan agung yang memperingatkan seorang muslim agar tidak terjatuh dalam hal-hal yang menyebabkan kehancuran secara permanen dan siksaan yang kekal abadi, suatu pesan yang mewanti-wanti manusia agar tidak berdoa dan meminta kepada selain Allah untuk menghilangkan krisis dan bencana, tidak pula mengarahkan permohonannya kepada selain Allah dalam mengangkat penderitaan atau mendatangkan kesejahteraan.
Firman Allah :
إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ [ المائدة / 72]
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka.”Qs Al-Maidah : 72
Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– :
” مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ ” أخرجه مسلم
“Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah tanpa pernah menyekutukan sesuatu denganNya, maka ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah sementara dirinya menyekutukan sesuatu denganNya, maka ia masuk neraka”. HR Muslim.
Menurut hadis riwayat Ubnu Mas’ud –radhiyallahu anhu- :
” مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ ” أخرجه البخاري
“Barangsiapa meninggal dunia sedangkan dia memohon kepada selain Allah sebagai tandingan, masuklah ia ke neraka”. HR Bukhari.
Suatu pesan agung yang me-resume untuk Anda –wahai muslim- bimbingan Al-Qur’an serta maksud, arah dan tujuan Al-Qur’an terkait dengan perintah, larangan, berita-berita dan kisah-kisah di dalamnya bahwa orang yang menggantungkan segala sesuatu kepada Allah, menitipkan segala kebutuhan kepadaNya dan menyerahkan segenap urusan kepadaNya semata, niscaya Allah akan mencukupikan dirinya dalam segala urusan, memudahkan segala kesulitannya dan mendekatkan baginya segala yang jauh.
Firman Allah :
إِنَّ ٱللَّهَ يُدَٰفِعُ عَنِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْۗ [ الحج/38]
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” Qs Al-Haj : 38
Firman Allah : وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ [ الطلاق 3] “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” Qs At-Thalaq : 3
Bahwa sesungguhnya orang yang mengandalkan selain Allah dan merasa puas dengannya, Allah akan serahkan urusannya kepadanya sehingga ia menajadi rendah diri, lemah dan hina-dina serta terjatuh dalam keburukan dan berbagai bencana.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عِيسَى، أَخِيهِ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عُكَيْمٍ أَعُودُهُ وَبِهِ حُمْرَةٌ، فَقُلْنَا: أَلاَ تُعَلِّقُ شَيْئًا؟ قَالَ: الْمَوْتُ أَقْرَبُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Diriwayatkan dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Lalila, dari Isa, saudaranya berkata: Aku pernah menemui ‘Abdullah bin ‘Ukaim untuk membesuknya, sehubungan dengan penyakit Humrah (bercak-bercak merah pada kulit) yang diidapnya. Aku pun berkata: Tidakkah sewajarnya engkau menggantungkan (hati) kepada sesuatu (jimat)? ‘Abdullah bin ‘Ukaim menjawab: “Kematian lebih baik bagiku dari pada perbuatan itu. Sebab Nabi -sallallahu alaihi wa sallam- bersabda: Siapapun yang menggantungkan (hati) pada sesuatu benda, maka urusannya akan diserahkan sepenuhnya kepadanya’.HR Ahmad dan Tirmizi
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda : ” مَنْ نَزَلَ بِهِ حَاجَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ، كَانَ قَمِنًا مِنْ أَنْ لَا تَسْهُلَ حَاجَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ، أتَاهُ اللهُ بِرِزْقٍ عَاجِلٍ، أَوْ بِمَوْتٍ آجِلٍ ” أخرجه أحمد “Barangsiapa yang mempunyai suatu keperluan, lalu menyerahkannya kepada manusia, maka dapat dipastikan tidak lancar keperluannya itu. Dan barangsiapa yang menyerahkan keperluannya itu kepada Allah, maka Allah akan mendatangkan kepadanya rezeki dengan segera atau menunda ajal kematiannya.”HR Ahmad Maka peganglah –wahai saudara sesama muslim- pesan agung itu secara konsisten agar Anda tidak dipermainkan oleh hawa nafsu dan tidak terombang-ambing oleh pemikiran liar yang tidak dapat menghindar dari bahayanya kecuali dengan mengikuti arahan pesan cemerlang dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang telah berhasil mencetak para sahabat sehingga mereka mencapai klimaks kesempurnaan tauhid berkat mengaplikasikan pesan agung beliau, sebagaimana yang dituturkan oleh Auf bin Malik Al-Asyja’i, ia bercerita : كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَسْأَلُوْا النَّاسَ شَيْئًا” فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ ” أخرجه مسلم “Kami di sisi Rasulullallah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kami sembilan atau delapan atau tujuh orang. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda : “Janganlah kalian meminta apapun kepada manusia”. Sungguh aku telah melihat salah seorang di antara mereka ketika cemetinya terjatuh maka ia tidak meminta seorangpun untuk mengambilkannya dan memberikan kepadanya.” HR Muslim. Dari Tsauban, berkata : Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : “ مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ فَقُلتُ أنَا فَكَانَ لَا يَسْألُ أحَدًا شَيْئًا ” أخرجه أبو داود والنسائي “Adakah orang yang bisa menjamin untukku bahwa ia tidak meminta-minta suatu apapun kepada sehingga aku menjamin baginya surga. Aku (Tsauban) menjawab, ‘Aku Ya Rasulallah’. Sejak itulah ia (Tsauban) tidak pernah meminta sesuatu kepada siapapun.”. HR Abu Daud dan Nasa’i. Seorang keponakan Al-Akhnaf bin Qais mengeluhkan sakit gigi yang diderita, maka Akhnaf menasihatinya seraya berkata : “Aku kehilangan pengelihatanku semenjak 40 tahun yang lalu, namun begitu aku tidak pernah mengadu kepada siapapun.” Wahai saudara sesama muslim! Mengadulah kepada Allah –Subhanahu wa Ta’ala– ketika Anda dalam kondisi krisis dan kesulitan. Bergantunglah kepada-Nya semata, bukan kepada lain-Nya ketika Anda tertimpa malapetaka, kegentingan dan kemelut. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : إذَا أصَابَ أحَدَكم هَمٌّ أوْ لَأوَاءٌ فَلْيَقلْ: اللّه، اللّه رَبّي لَا أشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ” أخرجه الطبرانى فى الأوسط “Jika salah seorang di antara kalian tertimpa kesedihan atau gangguan kesehatan, maka hendaklah ia menyebut, “Allah – Allah adalah Tuhanku, aku tidak menyekutukan-Nya dengan sesua-tu.” HR Tabrani dalam Al-Ausath. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ketika dalam kesulitan selalu berdoa : ” لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ” متفق عليه “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Agung. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Tuhan langit dan bumi dan Tuhan Arasy yang agung”. Muttafaq Alaih. Para Ulama telah bersepakat bahwa orang yang meminta pertolongan, bantuan dan perlindungan kepada sesama makhluk, yang telah meninggal, atau yang sedang raib atau bahkan yang masih hidup untuk mengatasi suatu persoalan yang sebenarnya hanya Allah sendiri yang mampu mengatasinya, maka sungguh ia telah berbuat kesyirikan yang menghanguskan amalnya. Wahai kaum muslimin! Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– benar-benar antusias menanamkan bibit-bibit ketauhidan dalam jiwa. Beliau bersungguh-sungguh mengajak memperhatikan pondasi ini. Beliau berupaya dengan serius melindungi esensi tauhid secara sempurna, jangan sampai ada kekurangan dalam perkataan, perbuatan, maksud dan kehendak terkait dengan tauhid ini. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah ditanya tentang seseorang yang berjumpa dengan sesamanya untuk memberi salam, apakah lalu ia membungkuk di hadapannya? Beliau menjawab, “Tidak boleh”. HR Ahmad dan Tirmizi. Status hadis ini adalah hasan. Semua itu tak lain hanyalah untuk mencegah sikap ketundukan apapun kecuali ketuntukan kepada Allah yang maha agung. Rasulullah yang penyayang telah memberi pengarahan kepada perkara yang bisa menolak godaan syaitan serta tipu daya dan makarnya. Anas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang berkata : يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا وَابْنَ خَيْرِنَا “Wahai Muhammad, wahai pemimpin kami, putra pemimpin kami, putra lelaki terbaik kami”. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata : أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشًّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُاللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيَ اللهُ “Wahai manusia, hendaknya kalian tetap di atas ketakwaan kalian, jangan sampai syaitan menggelincirkan kalian. Aku adalah Muhammad, seorang hamba Allah dan rasulNya, aku tidak suka kalian mengangkatku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tetapkan untukku” (HR An-Nasaai dan Ibnu Hibban) Dalam shahih Al-Bukhari, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوا عَبْدُاللهِ وَرَسُوْلُهُ “Janganlah kalian berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana kaum nashoro berlebihan kepada ‘Isa bin Maryam. Karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : (Muhammad itu) hamba Allah dan rasul-Nya.” HR Al-Bukhari Saudara-saudaraku seiman!
Diantara contoh semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menekankan tauhid dan besarnya perhatian beliau untuk memantapkan tauid, maka beliau menutup segala sarana yang bisa digunakan syaitan untuk menjerumuskan para hamba ke dalam lumpur kesyirikan dan khurofat jahiliyah. Karenanya telah datang pengarahan-pengarahan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengingatkan untuk tidak mengarahkan hati kepada para penghuni kubur, dan tidak bersandar kepada mereka atau merendahkan diri di hadapan pintu-pintu masuk kuburan mereka, atau beristighotsah kepada mereka tatkala dalam kondisi-kondisi sulit dan genting serta dalam kesulitan, yang hal ini semuanya selama-lamanya tidak pantas ditujukan kecuali hanya kepada pencipta bumi dan langit !!.
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اِشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ “Ya Allah, janganlah engkau menjadikan kuburanku adalah berhara yang disembah. Sungguh Allah sangat marah terhadap kaum yang menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid-mesjid.” HR Ahmad dan Malik dalam Muwattha’ dengan periwayatan ‘Atha bin Yasar. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memberi perhatian yang sangat besar terhadap penjagaan tauhid, karenanya beliau memperingatkan akan bahaya sarana-sarana setan dan penyesatan syaitan yang memfitnah manusia dengan jimat-jimat dan kalung-kalung yang digantungkan (diikatkan) ke badan atau harta benda dengan alasan untuk menolak keburukan dan menghilangkan kemudorotan serta mendatangkan kebaikan. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh ia telah berbuat kesyirikan”. HR Al-Hakim Sebagaimana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memperingatkan agar tidak terpedaya oleh para dukun, pera peramal dan para pendusta. Beliau berkata ; مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau para normal lalu membenarkan apa yang diucapkannya maka sungguh ia telah kefir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” HR Al-Arba’ah (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasaai, dan Ibnu Maajah) dan Al-Haakim). Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ditanya tentang An-Nusyroh, maka beliau menjawab : هِيَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ “Itu termasuk perbuatan syaitan.” HR Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Baihaqi
An-Nusyroh adalah berupaya menghilangkan sihir dengan menggunakan sihir yang serupa.
Kaum muslimin sekalian!
Tatkala kita berada pada kondisi yang mengajak jiwa untuk melakukan perkara yang tidak terpuji atau perkara yang tidak halal, yaitu tatkala kondisi berobat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya dengan perkara tauhid dan wajibnya memberi perhatian yang besar kepada tauhid, sehingga tetap bergantung kepada Allah dan bersandar kepadaNya, serta bertawakkal kepadaNya dan tidak mengarahkan hati kecuali hanya kepadaNya. Maka beliau bersabda –sebagaiamana diriwayatkan oleh Aisyah- , bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menjenguk orang sakit beliau berkata ;
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، اِشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءٌ لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkanlah penyakit wahai Tuhannya manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau adalah Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali dari kesembuhanMu, kesembuhan yang tidak menyisakan satu penyakitpun.” HR Al-Bukhari dan Muslim.
Nabi berkata kepada Utsman bin Abil ‘Aash Ats-Tsaqofi tatkala ia menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan sakit yang beliau rasakan di tubuh beliau sejak beliau masuk Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau:
“Letakanlah tanganmu di lokasi bagian tubuhmu yang sakit, lalu ucapkanlah “Bismillah” tiga kali, lalu ucapkanlah sebanyak tujuh kali:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari keburukan yang aku dapati dan keburukan yang aku khawatirkan.” HR Muslim.
Kaum muslimin sekalian!
Pada bentuk-bentuk semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga kemurnian tauhid dan perhatian besar beliau maka datanglah pengarahan beliau yang mulia sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– :
مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ “Atas kehenda Allah dan kehendakmu” Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata kepadanya : أَجَعَلْتَنِي للهِ عِدْلاً، بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ “Apakah engkau menjadikan aku sama seperti Allah?, akan tetapi (katakanlah) “Atas kehendak Allah semata.” HR Ahmad dan Ibnu Maajah. Dalam hadits riwayat Hudzaifah, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : لاَ تَقُوْلُوا مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ، وَلَكِنْ قُوْلُوْا : مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءِ فُلاَنٌ “Janganlah kalian berkata, “Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan”, akan tetapi katakanlah, “Atas kehendak Allah, kemudian kehendak si fulan.” HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Maajah. Di antara sisi semangat Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membimbing umatnya agar waspada dari segala yang menyelisihi hakikat tauhid dan membatalkan pokok tauhid atau kewajibannya, maka beliau menyampaikan kepada umatnya pidato beliau yang agung sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : أَلآ إِنَّ اللهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بَآبَائِكُمْ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ وَإِلاَّ فَلْيَصْمُتْ “Ketahuilah bahwasanya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nenek moyang kalian, maka barangsiapa yang bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah, jika tidak maka hendaknya ia diam” Umar berkata : فَوَاللهِ مَا حَلَفْتُ بِهَا مُنْذُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ذَاكِرًا وَلاَ آثِرًا “Demi Allah, aku tidak pernah bersumpah dengan nenek moyang semenjak aku mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku bersumpah dari diri sendiri atau hanya menceritakan sumpah orang lain.” HR Al-Bukhari dan Muslim. Dalam hadits Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda ; مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka sungguh ia telah kafir atau telah syirik.” HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi. Kaum muslimin sekalian!
Jadikanlah tauhid (pengesaan Allah) selalu di hadapan kalian, dan jalanilah kehidupan ini untuk beribadah kepada sang Pencipta dan mengagungkanNya, serta bergantung kepadaNya dalam segala kondisi. Ikatlah jiwa dan hati kepada Penciptanya. Gunakanlah anggota tubuh untuk perkara-perkara yang mendatangkan keridoan Penciptanya, maka akan terwujudkan bagi kalian kebaikan dan kalian akan memperoleh ganjaran yang besar.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [ الأحقاف / 13-14] “Sesungguhnya orang-orang yang berkata Rabb kami adalah Allah lalu mereka beristiqomah, maka tidak ada ketakutan atas mereka dan mereka tidaklah bersedih. Mereka itulah penghuni surga, kekal di dalamnya, sebagai ganjaran atas apa yang mereka amalkan. QS Al-AHqoof : 13-14 Semoga Allah memberi keberkahan kepadaku dan kepada anda dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad pemimpin keturunan Adnan. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ، وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْجُوْدِ وَالْاِمْتِنَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى Ibadallah, Dalam rangka penjagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan kemurnian tauhid dan pembentengan beliau yang agung terhadap sisi tauhid dari segala perkara yang hanya merupakan prasangka-prasangka yang batil dan dugaan-dugaan yang hanya merupakan khayalan semata, maka dalam hadits ‘Imron beliau bersabda ; لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ “Bukan dari kami orang yang melakukan tathoyyur (yaitu mengkaitkan nasib sial dengan sesuatu yang dilihat atau didengar-pen) atau dilakukan tathoyyur untuknya, atau melakukan praktik perdukunan atau dilakukan praktik perdukunan untuknya, atau melakukan sihir atau dilakukan praktik sihir baginya.” HR Al-Bazzaar dan sanadnya hasan. Dalam hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami, ia berkata : يَا رَسُوْلَ اللهِ أُمُوْرٌ كُنَّا نَصْنَعُهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، كُنَّا نَأْتِي الْكُهَّانَ “Wahai Rasulullah, ada perkara-perkara yang dahulu kami melakukannya di masa jahiliyah. Kami dahulu mendatangi para dukun. فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ “Maka janganlah kalian mendatangi para dukun” Aku berkata, كُنَّا نَتَطَيَّر “Kami dahulu bertathoyyur (merasa mendapatkan nasib sial) !” Beliau berkata, ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ فِي نَفْسِهِ فَلاَ يَصُدَنَّكُمْ “Itu adalah Sesuatu yang salah seorang dari kalian mendapatinya dalam dirinya maka jangan sampai menghalangi kalian (dari kegiatan kalian)” (HR Muslim) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dari hadits Ibnu Mas’ud, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : الطِّيَرَةُ شِرْكٌ “Tathoyyur (meyakini mendapat kesialan) adalah suatu kesyirikan” Dan yang terakhir, Yakinlah bahwasanya seluruh perkara adalah di tangan Allah –Subhanahu wa Ta’ala-, dan hanya terjadi karena takdirNya dan ketentuanNya. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda : لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَّةَ وَلاَ صَفَرَ “Tidak ada penyakit menular (yang menular dengan sendirinya), tidak ada tathoyyur (nasib sial), tidak ada haammah (burung hantu yang memberi kemudaratan tanpa seizin Allah) dan tidak ada (kesialan) di bulan Shafar.” HR Al-Bukhari dan Muslim.
Maka tempuhlah jalan Al-Qur’an dan jadikanlah kehidupan kalian selalu berada pada sunnah Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pemimpin keturunan Adnan. وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ، وَخَيْرَ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعُةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الجَمَاعَةِ . وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)) . اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةَ المَهْدِيِيْنَ؛ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِيْ الحَسَنَيْنِ عَلِيٍّ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَكِتَابَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا المُسْلِمِيْنَ المُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ فِي أَرْضِ الشَامِ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ حَافِظاً وَمُعِيْنًا وَمُسَدِّداً وَمُؤَيِّدًا، اَللَّهُمَّ وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ؛ دِقَّهُ وَجِلَّهُ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَّنَهُ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ العَمَلَ الَّذِيْ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ. اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَأَخْرِجْنَا مِنَ الظُلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عباد الله، (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ* وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ) [النحل:90-91]، فاذكروا اللهَ يذكرْكم، واشكُروه على نعمِه يزِدْكم، ولذِكْرُ اللهِ أكبرُ، واللهُ يعلمُ ما تصنعون. Khotbah Jum’at di Masjid Nabawi, 23 Jumadal Akhir 1437 H oleh Syekh Husen Bin Abdul Aziz Al As-Syekh Penerjemah Ustadz Firanda Artikel Firanda.com Diposting ulang oleh www.Asysyamil.com •═════ஜ✽✿۩❁۩✿✽ஜ═════• 🔄 FP KHUTBAH JUM'AT PILIHAN 📮 Join Channel Telegram : https://goo.gl/X2h0P7
35 POINT SYIAH BUKAN ISLAM

35 POINT SYIAH BUKAN ISLAM

35 POINT SYIAH BUKAN ISLAM 1► Syiah bukan Islam – sebelum membahas kekeliruan Syiah harus kita pahami dahulu bahwa Syiah yang ada di Indonesia adalah Syiah Itsna Asyariah bukan Zaidiyah. 2► Syiah bukan Islam – Syiah Itsna Asyariyah adalah Syiah yang percaya 12 Imam atau disebut Imamiyah. Syiah ini yang mayoritas ada di dunia termasuk rezim yang berkuasa di Iran. 3► Syiah bukan Islam – Syiah Imamiyah inilah yang disebut Rafidhah. Karena mereka mencaci bahkan mengkafirkan para sahabat Nabi. 4► Syiah bukan Islam – Ciri khas utama Syiah ada dua yakni kultus berlebihan pada Ali serta keturunannya dan pelecehan terhadap sahabat Nabi. 5► Syiah bukan Islam – Saya menyimpulkan dua ciri khas utama itu adalah wordlview-nya Syiah. Semua aspek dalam agama pasti berpangkal pada dua hal tsb. 6► Syiah bukan Islam – Silahkan yang mau membuktikan pemikiran Syiah tentang al-Qur’an, hadits, politik, fiqih diasaskan oleh kultus Ali dan benci kepada para sahabat. 7► Syiah bukan Islam – Konsep ketuhanan juga dipengaruhi ideologi kultus imamah. Konsep ke esa an Syiah berbeda dengan konsep ke esa an dalam Islam 8► Syiah bukan Islam – Kitab al-Kafi- kitab hadits syiah yang utama menjelaskan bahwa yg dimaksud musyrik adalah menyekutukan imam Ali dengan imam yg lain. 9► Syiah bukan Islam – Lebih jelas lagi dalam kitab Bihar al-Anwar, kitab rujukan Syiah, yg mengatakan “Siapa saja tidak percaya Ali adalah Imam pertama adalah kafir.” 10► Syiah bukan Islam – Jadi yang dimaksud syirik bagi Syiah bukan sekedar menyekutukan Allah tapi juga menyekutukan Ali dalam hal kepemimpinan. 11► Syiah bukan Islam – Jadi syiah itu sejatinya golongan takfiriyah yang sebenarnya. Mengkafirkan kaum muslimin karena tidak mengangkat Ali sebagai imam pertama. 12► Syiah bukan Islam – Non Syiah, orang selain Syiah mereka sebut nawashib. Sebutan hina. Nawashib menurut imam-imam mereka halal hartanya (dan darahnya). 13► Syiah bukan Islam – Syiah menyesatkan para aimmatul madzahib imam madzhab yang empat, Ahlussunnah. Mereka disebut ahlul bid’ah, kafir dan sesat (kitab al-Syiah hum Ahlussunnah). 14► Syiah bukan Islam – Istri tercinta Nabi, Aisyah, disesatkan. Imam Thabrasi mengatakan kemuliaan Aisyah gugur karena melawan Ali, dia ingkar kepada Allah. 15► Syiah bukan Islam – Syiah mengkafirkan sahabat. Menurut mereka hanya 3 sahabat yang Islam yakni Abu Dzar, Salman, dan Miqdad. 16► Syiah bukan Islam – Kenapa Syiah menghalalkan mut’ah. Lagi-lagi karena yg meriwayatkan haramnya mut’ah itu Umar bin Khattab. Karena kebenciannya itu haditsnya ditolak. 17► Syiah bukan Islam – Kenapa Syiah menolak mushaf utsmani sebagai al- Qur’an? Karena yang menyusun itu Utsman yg mereka benci. 18► Syiah bukan Islam – Dalam kitab Thaharah, Khomaini menyebut sahabat itu lebih jijik daripada anjing dan babi. 19► Syiah bukan Islam – Syaikh Shoduq ulama Syiah, mengatakan darah nawasib (muslim sunni) itu halal. 20► Syiah bukan Islam – Imam Khomaini pernah berfatwa bahwa nawasib itu kedudukannya sama dengan musuh yang wajib diperangi (ahlul harb). 21► Syiah bukan Islam – Karena itu cara tepat mengenal Syiah itu dengan menelaah kitab-kitab induk mereka. Karena itu ajaran mrka sesungguhnya. 22► Syiah bukan Islam – Jangan terkecoh dengan buku-buku Syiah sekarang. Karena penuh propaganda, intrik dan pengelabuan. 23► Syiah bukan Islam – Syiah punya rukun agama bernama taqiyah (Dusta). “La dina liman la taqiyata” artinya tidak beragama yang tidak taqiyyah, disebut dalam al-kafi. 24► Syiah bukan Islam – Karena taqiyah itu, Imam Syafii berpesan bahwa golongan yang paling banyak bohongnya itu Syiah. 25► Syiah bukan Islam – Maka jangan heran jika mereka mengaburkan fakta - fakta Syiah Sampang. Karena itu bagian dari aqidah. Teologi kebohongan itulah taqiyah. 26► Syiah bukan Islam – Waspadalah Syiah punya sayap militan. Mereka pernah mau kirim relawan ke Suriah bantu rezim Asad. 27► Syiah bukan Islam – Seorang pengurus PBNU pernah menulis, Syiah Indonesia sedang siapkan konsep imamah di Indonesia. Dalam arti mereka sedang siapkan revolusi. 28► Syiah bukan Islam – Syiah membahayakan NKRI. Ada fatwa Khomeini yang mewajibkan Syiah untuk revolusi di negara masing-masing. 29► Syiah bukan Islam – Gerakan Syiah didukung kelompok liberal. Pokoknya segala aliran yang rusak dan sesat yang dilekatkan pada Islam didukung Syiah. Mereka sekarang bersatu. 30► Syiah bukan Islam – visi Syiah-liberal hampir sama dalam hal pelecehan terhadap sahabat nabi dan meragukan al-Qur’an. 31► Syiah bukan Islam – Liberal punya ideologi relativisme. Ternyata Syiah dalam kampanye gunakan ideologi tersebut untuk kelabuhi Sunni. 32► Syiah bukan Islam – contoh relativisme Syiah adalah, kampanye Sunnah-Syiah sama saja. Sama Tuhan dan Nabinya. Ini mencontek kaum liberal. 33► Syiah bukan Islam – Filsafatnya orang Syiah ternyata juga berujung pluralisme dan pantaeisme. FiIsalafatnya mengadopsi paripatetik. 34► Syiah bukan Islam – Demikianlah fakta-fakta Syiah. Jika muslim anti liberal maka seharusnya juga anti Syiah. Mereka sama-sama ideologi perusak Islam. 35► Syiah bukan Islam – Semoga kita dan keluarga kita dilindungi dari makar Syiah dan Liberal. Oleh: Peneliti Syi’ah dari Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya, dan Penasehat SDL. Kholili Hasib, M.A Silahkan di sebarkan... Bangunkan saudara-saudara kita yg belum mengerti tentang kesesatan Syi'ah....BUKTI SYI'AH BUKAN ISLAM BEGITU NYATA...MENGAPA MASIH ADA YANG MENGANGGAP SYI'AH ITU ISLAM...?!?! Insya Allah bermanfaat. FP Syi'ah Bukan Islam (SBI) https://www.facebook.com/pages/Syiah-Bukan-Islam/201003436746495
Amalan Keliru di Bulan Sya’ban

Amalan Keliru di Bulan Sya’ban

AMALAN KELIRU DI BULAN SYA'BAN Oleh : Ustadz Muhammad Abduh tuasikal, MSc Bulan Sya’ban adalah bulan yang penuh kebaikan. Di bulan tersebut banyak yang lalai untuk beramal sholeh karena yang sangat dinantikan adalah bulan Ramadhan. Mengenai bulan Sya’ban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras agar umatnya tidak beramal tanpa tuntunan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sekali umatnya mengikuti ajaran beliau dalam beramal sholeh. Jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan tuntunan dalam suatu ajaran, maka tidak perlu seorang pun mengada-ada dalam membuat suatu amalan. Islam sungguh mudah, cuma sekedar ikuti apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan, itu sudah mencukupi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718) Bid’ah sendiri didefinisikan oleh Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al I’tishom,

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.” Amalan yang Ada Tuntunan di Bulan Sya’ban Amalan yang disunnahkan di bulan Sya’ban adalah banyak-banyak berpuasa. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Di bulan Sya’ban juga amat dekat dengan bulan Ramadhan, sehingga bagi yang masih memiliki utang puasa, maka ia punya kewajiban untuk segera melunasinya. Jangan sampai ditunda kelewat bulan Ramadhan berikutnya. Amalan yang Tidak Ada Tuntunan di Bulan Sya’ban Adapun amalan yang tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang tumbuh subur di bulan Sya’ban, atau mendekati atau dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Boleh jadi ajaran tersebut warisan leluhur yang dijadikan ritual. Boleh jadi ajaran tersebut didasarkan pada hadits dho’if (lemah) atau maudhu’ (palsu). Apa saja amalan tersebut? Berikut beberapa di antaranya: 1. Kirim do’a untuk kerabat yang telah meninggal dunia dengan baca yasinan atau tahlilan. Yang dikenal dengan Ruwahan karena Ruwah (sebutan bulan Sya’ban bagi orang Jawa) berasal dari kata arwah sehingga bulan Sya’ban identik dengan kematian. Makanya sering di beberapa daerah masih laris tradisi yasinan atau tahlilan di bulan Sya’ban. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya. 2. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat dan do’a. Tentang malam Nishfu Sya’ban sendiri ada beberapa kritikan di dalamnya, di antaranya: a. Tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248). Juga yang mengatakan seperti itu adalah Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, penulis Tuhfatul Ahwadzi. Contoh hadits dho’if yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban, yaitu hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if/ lemah]. b. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ

Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144). Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak dikhususkan dengan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada dalil yang mendukungnya. (At Tahdzir minal Bida’, 28). c. Malam nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam lainnya. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115) d. Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, keutamaan malam Nishfu Sya’ban sebenarnya sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan. ‘Abdullah bin Al Mubarok rahimahullah pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92). Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah masuk pada keumuman malam, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29). 3. Menjelang Ramadhan diyakini sebagai waktu utama untuk ziarah kubur, yaitu mengunjungi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan “nyadran”). Yang tepat, ziarah kubur itu tidak dikhususkan pada bulan Sya’ban saja. Kita diperintahkan melakukan ziarah kubur setiap saat agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ

Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976). Jadi yang masalah adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk ‘nyadran’ atau ‘nyekar’. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini. 4. Menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar, padusan, atau keramasan. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Puasa tetap sah jika tidak lakukan keramasan, atau padusan ke tempat pemandian atau pantai (seperti ke Parangtritis). Mandi besar itu ada jika memang ada sebab yang menuntut untuk mandi seperti karena junub maka mesti mandi wajib (mandi junub). Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”), ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan (baca: ikhtilath) dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?! Cukup dengan Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

  “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat amalan yang tidak ada tuntunannya. Karena (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih) Orang yang beramal sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang akan merasakan nikmat telaga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak. Sedangkan orang yang melakukan ajaran tanpa tuntunan, itulah yang akan terhalang dari meminum dari telaga yang penuh kenikmatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049). Sehingga kita patut hati-hati dengan amalan yang tanpa dasar. Beramallah dengan ilmu dan sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Ibnu Taimiyah) Wallahu waliyyut taufiq. Prepared @ Panggang-Gunung Kidul, Khutbah Jumat MPR 6th July 2011 (08/07/2011) www.rumaysho.com Artikel www.asysyamil.com
Nistanya Kesombongan - Ustadz Firanda Andirja, MA

Nistanya Kesombongan - Ustadz Firanda Andirja, MA

https://www.youtube.com/watch?v=v67rLlb1XbM
Adab-adab Safar sesuai Al-qur’an dan As-Sunnah

Adab-adab Safar sesuai Al-qur’an dan As-Sunnah

ADAB-ADAB SAFAR SESUAI AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH Di tengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan, pernahkah Anda mencoba menyisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak ; Apa niat dan tujuan kepergian (safar) Anda? Dan tahukah anda kapankah anda disebut seorang musafir? Dan Bagaimana adab – adab syariat yang mesti Anda perhatikan agar safar menjadi safar yang penuh berkah? Jika niat kepergian Anda adalah untuk sebuah kebaikan, maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: يَقُولُ اللَّهُ إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidak mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kali lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya. Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan.” (HR. Bukhari). Namun, jika yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya Anda berhati-hati dan waspada, karena ketahuilah, kepergian (safar) Anda adalah tercela dan dilarang. Dan perlu diketahui niat tempatnya dihati, tidak perlu dilafazh-kan. Tak cukup dengan niat untuk sebuah kebaikan, jika kepergian (safar) Anda diwarnai dengan adab – adab syar’i, maka Insya Allah kepergian (safar) Anda menjadi safar yang berberkah. Namun jika tidak, Anda telah meninggalkan berbagai keutamaan yang telah tersedia di hadapan Anda. Maka, cobalah untuk menyimak risalah singkat ini. A. Kapan kita dikatakan seorang musafir? Dari banyak pendapat yang ada, -insyaa Allaah- pendapat yang paling råjih, adalah tanpa adanya jarak perjalanan yang khusus, sesuai dengan ‘urf (kebiasaan masyarakat), jika kepergiannya tersebut menurut ‘urf (kebiasaan masyarakat) adalah suatu safar, maka ia terhitung musafir, jika tidak, maka tidak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Dalil yang lebih tepat dan kuat ialah pendapat ulama yang membolehkan qashar shalat dan berbuka puasa ketika musafir dan tidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling shahih.” (Rujuk Kitab Majmuu’ al-Fataawaa, 24/106) Imam Abu al-Qasim al-Kharqi rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni: “Aku tidak setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak ada hujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari kata-kata para sahabat yang saling menyanggah. Sedangkan, tidak boleh berhujjah menggunakan dalil yang saling berbeda.” Disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa pendapat yang paling rojih adalahtiada batasan tertentu yang membataskan seseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia tergantung kepada ‘uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari mana dia berada (kawasan kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar kebiasaannya) tanpa dibatasi jaraknya. (Disimpulkan dari perbahasan dalam buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah Tajuk Mengqashar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s. 161-204) Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek pada link berikut: Qasharkanlah (Pendekkanlah) shalatmu Ketika Engkau Musafir B. Adab-adab safar sesuai sunnah Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam 1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi Disunnahkan bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. – Saling berpamitan dan saling mendoakan bagi mereka yang hendak safar, dan mereka yang ditinggalkan Berkata Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada doa mereka berkah.” Berkata Asy-Sya`bi –rahimahullah-: “Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk mengunjungi saudaranya dan menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.” – Doa orang yang hendak pergi kepada yang ditinggalkan أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُAstawdi’ukumullah, alladzi laa tadhii’u wa daa`i’uhu’ “Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya..” (Hasan; HR. Ahmad, dll) [Rasuulullaah bersabda: إذا خرجت إلى سفر فقل لمن تخلفه أستودعكم الله الذى لا تضيع ودائعه Jika kalian hendak keluar safar, maka katakanlah kepada mereka yang kalian tinggalkan: Astawdi’ukumullah, alladzi laa tadhii’u wa daa-i’uhu’ (Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya…)] Berkata al Munawiy: أي الذي إذا استحفظ وديعة لا تضيع فإنه تعالى إذا استودع شيئا حفظه “Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan tersia-siakan, karena Allah ta’ala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti akan menjaganya…” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah) – Doa orang yang ditinggalkan kepada orang yang hendak safar Sebagaimana doa Rasuulullaah ketika melepas pasukan perang: أَستودع اللَّه دينك وأمانتكم وخواتيم أعمالك ‘Astaudi’ullaha diinak, wa amaanatak wa khawaatima a’maalik‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian).” (HR at Tirmidziy, dll) Rasuulullaah bersabda ketika hendak mengutus pasukan perang : إِذَا اسْتَوْدَعَ اللَّهُ شَيْئًا حَفِظَهُ Jika dititipkan sesuatu pada Allaah, maka Dia akan menjaganya وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكُمَا وَأَمَانَتَكُمَا، وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكُمَا Dan aku titipkan pemeliharaan agama kalian, amanah yg kalian emban, serta kesudahan amalan kalian kepada Allaah (Terdapat dalam Shahiih at-Tirmidziy) Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menjadikan agama dan amanah seseorang sebagai titipan, karena di dalam safar seseorang akan tertimpa rasa berat, dan takut sehingga hal itu menjadi sebab tersepelekannya sebagian perkara-perkara agama. Lantaran itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan kebaikan bagi orang yang safar berupa bantuan dan taufiq. Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukan di dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat. Kemudian, jika ia kembali kepada keluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy] Beliau juga mendoakan: زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيثما كنت ‘zawwadakaLLaahut taqwa, wa ghafara dzanbaka, wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta’ Semoga Allaah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosamu, serta mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada (HR at Tirmidziy) [1. Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, Dari Anas -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian (ia) berkata, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.” قال زودك الله التقوى Maka beliau menjawab, “ZawwadakaLLaahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).” Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” قال وغفر ذنبك Beliau menjawab, “Wa ghafara dzanbaka (dan semoga Allah mengampuni dosamu).” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” قال ويسر لك الخير حيثما كنت Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada).” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/155) software Maktabah asy-Syamilah, dinukil dari: Bekal Safar: Kutitipkan Mereka Kepada-Mu, Ya Allah…)] Berkata al Munawiy: ويندب لكل من المتوادعين أن يقول للآخر ذلك وأن يزيد المقيم زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيثما كنت “Dianjurkan bagi masing-masing orang (baik yang pergi maupun yang ditinggal) untuk mengucapkan bacaan itu kepada saudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim (ditinggal) menambahkan bacaan ‘zawwadakallahut taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta‘.” (Faidh al-Qadir) 2. Dibencinya safar sendirian Terdapat hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ “Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidak seorangpun yang akan melakukan safar di waktu malam sendirian “. (HR. Bukhari). Larangan tersebut bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam hadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar. Wallahu A`lam. Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah). Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat. [1. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 6/53 dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62.] Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah adab. [Lihat perkataan Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6/53.] 3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika tiga orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud, dan berkata Al-Albani rahimahullah : “Hadits hasan shahih). Apabila pada safar yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut, maka dianjurkan untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atas mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. 4. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.” ( HR. Muslim). Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ “Terompet adalah merupakan seruling syaithan.” (HR. Muslim). 5. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.” (HR. Bukhåriy) Dalam lafazh Muslim : “Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang laki-laki yang merupakan mahramnya.” (HR. Bukhari). 6. Disunnahkan safar pada waktu terbaik Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata, أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.” [HR. Bukhari no. 2950.] Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampada waktu pagi, اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَاYa Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” [HR. Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1693.] Ibnu Baththol mengatakan, “Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.” [Syarhul Bukhari Libni Baththol, Asy Syamilah, 9/163] Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di malam hari. [Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H, 7/171.] Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِHendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.” [HR. Abu Daud no. 2571, Al Hakim dalam Al Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5/256. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah no. 681.] 7. Hendaknya melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَخْرَجِ السُّوْءِ وَإِذَا دَخَلْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَدْخَلِ السُّوْءِJika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.” [HR. Al Bazzar, hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323] 8. Membaca doa – doa ketika safar yang telah ma’tsur (diriwayatkan) dari Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam – Doa ketika ketika meninggalkan rumah بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ bismillah, tawwakaltu ‘alallåh,laa hawla wa laa quwwata illa billaah “Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah,” اللَّهمَّ إني أعوذ بك أَن أَضِلَّ أو أُضَلَّ ، أَو أَزِلَّ أو أُزَلَّ ،أو أظلم أو أظلم , أو أَجهَلَ أو يُجهَلَ عليَّ allaahumma inni ‘a-udzubika an a-dhilla au u-dhall, au azilla au uzall, au azhlam au uzhlam, au ajhala au yujhala ‘alayya… “Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (syetan atau orang yang berwatak syetan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau dari berbuat bodoh atau dibodohi.” (Shahih, di shahihkan asy-syaikh al-albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud, HN. 5094). – Doa menaiki kendaraan بسم الله , بسم الله , بسم الله “Bismillaah, bismillaah, bismillaah” (dengan menyebut nama Allaah, dengan menyebut nama Allaah, dengan menyebut nama Allaah) Ketika sudah duduk di atas kendaraan, membaca: الحمد لله “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allaah) Lalu membaca, سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ “Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa robbina lamun-qolibuun” (Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami) Kemudian mengucapkan, الحمد لله , الحمد لله , الحمد لله “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah”. Lalu mengucapkan, اللَّهُ أَكبرُ , اللَّهُ أَكبرُ , اللَّهُ أَكبرُ “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca, سُبْحَانَكَ إِنِّى قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِى فَاغْفِرْ لِى فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ “Subhaanaka inni qad zhalamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta” (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau) [Shahiih; HR Abu Daawud][1. Berdasarkan hadits ‘Aliy bin Rabi’ah, ia berkata: شهدتُ عليًّا أُتيَ بدابَّةٍ ليركبَها فلمَّا وضعَ رجلَهُ في الرِّكابِ قالَ بسمِ اللَّه ثلاثًا فلمَّا استوى على ظهرِها قالَ الحمدُ للَّه ثمَّ قالَ { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ } ثمَّ قالَ الحمدُ للَّه ثلاثًا اللَّهُ أكبر ثلاثًا سبحانكَ إنِّي قد ظلمتُ نفسِي فاغفر لي فإنَّهُ لا يغفرُ الذُّنوبَ إلَّا أنت ثمَّ ضحِك قلتُ من أيِّ شيءٍ ضحِكتَ يا أميرَ المؤمنينَ قالَ رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صنعَ كما صنعتُ ثمَّ ضحِكَ فقلتُ من أيِّ شيءٍ ضحِكتَ يا رسولَ اللَّهِ قالَ إنَّ ربَّكَ ليعجبُ من عبدِهِ إذا قالَ ربِّ اغفر لي ذنوبي إنَّهُ لا يغفرُ الذُّنوبَ غيرُك Aku menyaksikan ‘Aliy bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu dibawakan kendaraan untuk dikendarainya. Ia berkata: “bismillaah”, maka setelah ia telah diatas punggungnya, maka ia berkata: “alhamdulillaah”, kemudian ia berkata: “Subhanalladzi sakh-khara lanaa hadzaa, wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa rabbinaa lamun-qalibuun” kemudian dia mengucap “alhamdulillaah” tiga kali, Allaahu akbar tiga kali, (kemudian ia berucap) “Subhaanaka inni qad zhalamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta” kemudian ia senyum. Kemudian aku berkata: “terhadap apakah engkau bersenyum wahai amirul mukminin?” Ia menjawab: Sungguh aku telah melihat Rasuulullaah melakukan seperti apa yang aku lakukan tadi (yaitu membaca dzikir-dzikirnya), kemudian beliau senyum. Maka aku bertanya “terhadap apakah engkau bersenyum wahai Rasuulullaah?” maka beliau menjawab: “sesungguhnya Rabbmu, benar-benar takjub terhadap hambaNya, jika ia berkata: “rabbighfirliy dzunubiy, innahu laa yaghfiru dzunuba ghayruk” (Ya Allaah, ampuni dosaku; karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain (daripada)Mu) (Shahiih; HR at Tirmidziy)] – Doa bepergian سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِين وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ subhaanaalladzi sakh-khårålanaa wa maa kunna lahu muq’riniin wa inna ila råbbina lamunqålibuun ” Maha Suci Allah yang telah menjalankan kami, dan sebelumnya kami tidak mampu, dan hanya kepada Rabb kami, kami kembali.” اللَّهمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ، وَمِنَ اْلعَمَلِ مَا تَرْضَى ، allåhumma inni nas-aluka fii safarinaa hadzaa al-birrå wat-taq’wa, wa minal ‘amali maa tardhå “Ya Allah! sesungguhnya aku memohon kepadaMu kebaikan dan ketakwaan di dalam perjalanan kami. Begitu pula amal yang Engkau ridhai” اللَّهمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِي سَفَرِنَا هَذَا ، وَاَطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ ، allåhumma hawwin ‘alaynaa fii safarinaa haadzaa wa ath-wi ‘annaa bu’dah “Ya Allah mudahkan/ ringankanlah perjalanan kami ini, dan jadikan perjalanan yang jauh menjadi dekat dari kami.” اللَّهمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ allåhumma antash-shååhibu fiis-safar, wakh-liifatu fil ahl, “Ya Allah! Engkaulah teman di dalam perjalanan, dan Pemimpin/ Penjaga keluarga dan harta.” اللَّهمَّ إِنيِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبََةِ الْمَنْظَرِ ، وَسُوْءِ المُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَ اْلأَهْلِ وَالْوَلَدِ allåhumma inni a-‘udzubika min wa’-tsaa-is-safar, wa ka`aabatil munzhår, wa suu-il munqålabi fil maali wal ahli wal walad “Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari lelahnya perjalanan, dan sedihnya pemandangan, serta kesia-siaan tempat kembali, dan buruknya pemandangan pada harta, keluarga, dan anak.” (HR. Abu Daud, Shahih). – Doa Apabila kembali dari safar Doa di atas dibaca (yakni doa bepergian), dan ditambah: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لَرَبِّنَا حَامِدُوْنَ aayibuuna taa`ibuuna ‘aabiduuna li råbbinaa haamiduun Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Råbb kami (HR. Muslim 2/998.). 9. Shålat diatas kendaraanya ketika dalam perjalanan Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas kendaraannya. Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di atas tunggangan beliau ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya ke arah kiblat dan shalat dengan memberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan beliau mengerjakan shalat witir di atas kendaraan beliau.” (HR. Al-Bukhari). 10. Doa ketika singgah di suatu tempat Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa : أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ A’uudzubikalimatillaahitt-tammmaati min syarri maa khålaq “Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan.” (maka) Tidak akan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut.” (HR. Muslim). 11. Disunnahkan untuk tinggal sementara dan makan secara bersama di satu tempat. Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba (singgah) dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah. Diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata : “Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan. Setelah itu apabila mereka turun singgah d isuatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnyahingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua” (HR. Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al-Albani –Rahimahullah). Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka. Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah? ”Para sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.” (HR. Abu Daud, dan dihasankan oleh Al-Albani Rahimahullah). 12. Hendaklah orang yang bersafar bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) ketika melewati tempat yang tinggi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Bahwasanya seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak bersafar, maka berilah aku nasehat” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan mengucapkan takbir (bertakbir) ketika melewati tempat yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan). Juga berdasarkan hadits Jabir yang ia menuturkan: “Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. (HR. Al-Bukhari). 13. Hendaklah mengucapkan “bismillaah” jika mengalami gangguan dalam perjalanan Jika terjadi suatu gangguan dalam perjalanan (seperti kendaraan mogok), janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”) Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi, لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ “Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” [HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Kalimu Ath Thoyib no. 238] [Dikutip dari Tips Mudik Lebaran Penuh Berkah; Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal] 14. Apabila takut terhadap gangguan manusia, maka hendaklah ia berdoa seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam اللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُورِهِمْ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ allåhumma inna naj’-‘aluka fiy nuhuurihim wa na’uudzubika min syuruurihim Artinya, “Ya Allah, Sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai Penolong dalam menghadapi mereka, dan sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari kejahatan-kejahatan mereka” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani), 15. Hendaklah dia berdoa di dalam safarnya dan memohon kepada Allah Ta’ala kebaikan dunia dan akhirat. Karena safar merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terdapat tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi padanya: do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bersafar, dan do’a orang tua kepada anaknya.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan). 16. Musafir Ketika Bertemu Waktu Sahur (Menjelang Shubuh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan, سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا رَبَّنَا صَاحِبْنَا وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ النَّارِSamma’a saami’un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi ‘alainaa. Robbanaa shohibnaa wa afdhil ‘alainaa ‘aa-idzan billahi minan naar (Semoga ada yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabb kami, peliharalah kami dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api neraka).” [HR. Muslim no. 2718] [Dikutip dari Tips Mudik Lebaran Penuh Berkah; Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal] 17. Membaca dzikir ketika masuk desa/kota Disebutkan dalam shahiih ibnu khuzaimah, bahwa tidaklah Rasuulullaah melihat suatu daerah, dan hendak untuk memasukinya; kecuali beliau membaca pada saat melihat daerah tersebut: اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الأَرَضِينَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ، وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ Allaahumma rabbassamawaatis sab’i wa maa azhlalna, wa rabbal ardhiinassab’i wa maa aqlalna, wa rabbasy syayaathiini wa maa adhlalna, wa rabbarriyaahi wa maa dzarayna “Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan apa yang dinaunginya. Tuhan penguasa tujuh bumi dan apa yang di atasnya. Tuhan Yang menguasai syetan-syetan dan apa yang mereka sesatkan. Tuhan Yang menguasai angin dan apa yang diterbangkannya. فَإِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ مَا فِيهَا ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الْقَرْيَةِ وَشَرِّ مَا فِيهَا fa inna nas aluka khayra hadzihil qaryati wa khayra maa fiihaa. Wa na’uudzubika min syarri hadzihil qaryati wa syarri maa fiihaa Maka kami mohon kepada-Mu kebaikan desa ini, kebaikan penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. Kami berlindung kepada-Mu dan kejelekan desa ini, kejelekan penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. [HR an Nasaa-iy (sunan al kubra), ibn hibbaan, ibnu khuzaymah, al haakim; dishahiihkan al haakim dan adz dzahabi, dikatakan al albaaniy: “hasan li ghayrihi”] Maka ketika kita melihat sebuah daerah yang kita ingin kita masuki, maka ketika daerah itu terlihat, maka kita mengucapkan dzikir diatas. 18. Disunnah-kan ketika safar untuk meng-QÅSHAR-kan (memendekkan) shålatnya dan BOLEH baginya untuk menjama’ (menggabung) shalatnya Dari banyak pendapat mengenai shålat seorang musafir, maka pendapat yang paling råjih -Insya Allåh- adalah SUNNAH baginya untuk meng-qåshar-kan shålat, dan BOLEH baginya untuk men-jama'(menggabungkan) shalatnya. Wallåhu ta’ala a’lam bish shåwwab. – Sunnah bagi musafir untuk meng-qashar shalatnya Allah (سبحانه وتعالى) berfirman di dalam surah an-Nisa’ ayat 101: وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ (artinya):“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-Qashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dari Abu Ya’la bin Umayyah, dia menceritakan: “Aku pernah berkata kepada ‘Umar bin Khaththab: (Allah berfirman:) “maka tidaklah mengapa kamu meng-Qashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (Namun sekarang) masyarakat sekarang sudah berada dalam keadaan aman. ‘Umar berkata: “Aku juga pernah merasa hairan sebagaimana engkau merasa hairan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) mengenai hal tersebut. Beliau (ﷺ) bersabda: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بِهَا عَلَيكُم فَاقبَلُوا صَدَقَتَهُ “Ia suatu sedekah yang telah disedekahkan oleh allah kepada kamu. Oleh itu, terimalah sedekah Allah.” (HR Muslim) Dari ‘Aisyah, dia menyatakan: “Ketika shalat pertama kali diwajibkan, Allah mewajibkan dua rakaat-dua rakaat, sama ada ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun ketika dalam perjalanan. (Selepas hijrah Nabi (ﷺ)) shalat ketika safar ditetapkan/dibiarkan (dua rakaat), dan shalat ketika tidak safar (dalam perjalanan) ditambah (jumlah rakaatnya). (HR Muslim) Dari Musa bin Salamah Al-Hudzali dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: “Bagaimana saya shalat jika saya berada di Makkah (sedang safar) dan saya tidak ikut shalat di belakang imam (berjamaah)?” Maka beliau menjawab, “Shalatlah 2 rakaat, itu merupakan sunnahnya Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim) Bahkan disebutkan ibnu ‘Umar: “Aku pernah menemani Rasulullah (ﷺ) dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat (bagi setiap shalat yg empat raka’at). Demikian juga dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman radhiyallåhu ‘anhum. (HR Muslim) Dari hadits ini, sebagian ulama menghukumi bahwa qashar merupakan syarat sah shalat seorang musafir; tidak sah baginya jika tidak diqashar (kecuali kalau bermakmum imam yang mukim). – Kapan mulai meng-qashar? Ketika telah meniatkan safar, dan telah meninggalkan semua rumah di kampungnya. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Mundzir. – Berapa lama boleh mengqashar? Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan beberapa riwayat dari para shahabat, yang menyatakan bahwa TIDAK ADA BATASAN WAKTU seseorang untuk tetap mengqasharkan shalatnya sebagaimana bisa dilihat dalam riwayat-riwayat berikut: Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau berdiam di Naisabur (sebagai musafir) selama setahun atau dua tahun sambil mengqashar shalat. Dan dari sahabat Jabir bin Zaid bahwa beliau ditanya, “Saya tinggal (sebagai musafir) di negeri Tastur selama setahun atau dua tahun, dan saya sudah mirip dengan penduduk asli di situ,” maka Jabir menjawab, “Shalatlah dua rakaat.” Abu Al-Minhal bertanya kepada Ibnu Abbas, “Saya berdiam (sebagai musafir) di Madinah selama setahun dan tidak sedang melanjutkan perjalanan?” maka Ibnu Abbas menjawab, “Shalatlah kamu dua rakaat.” Dan pada atsar setelahnya Ibnu Abbas berkata, “Shalatlah dua rakaat walaupun engkau berdiam selama 10 tahun.” Semua atsar sahabat ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dengan sanad yang shahih. (Sumber: http://al-atsariyyah.com/hukum-shalat-qashar-bagi-musafir.html) Hal ini menandakan, selama seseorang MASIH MENIATKAN untuk TIDAK MUKIM ditempat yang ia safari tersebut, maka ia masih disebut musafir, sehingga selama itu pula ia DISUNNAHKAN untuk meng-qasharkan shalatnya. – Bolehnya jama’ bagi musafir Para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’. (Lihat al Irwa’, III/40; dipetik dari abusalma ). Imam Ahmad rahimahullah di dalam al-Musnadnya (6/241) menambahkan: “Kecuali shalat Maghrib dan subuh”. (Rujukan: Catatan kaki no. 71, m/s. 550, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i) Dari Ibnu ‘Abbas, dia menyatakan: “Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi Kalian (ﷺ) ketika tidak dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat dan ketika dalam perjalanan dua rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat.” (HR Muslim) Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam: – Ada musafir saa-ir, yaitu yang berada dalam perjalanan – Dan ada musafir naazil, yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama. Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang lebih afdhol (lebih utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat (jika ia masih bisa mengerjakannya pada waktunya masing-masing). Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya. (penjelasan diatas adalah penjelasan asy-syaikh al-utsaimin råhimahullåh, lihathttp://islamqa.com/ar/ref/49885, dialih bahasakan oleh al-ustadz muhammad abduh tuasikal) 19. Apabila MENG-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) (baik makmumnya mukim atau safar) tetap meng-qåshar-kan shålat. Dan bila ada makmum yang mukim, maka tetap harus menyempurnakan shålatnya. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa jika orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafir lalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qashar – pen.), maka orang yang bermukim harus menyempurnakan shalatnya (kepada empat rakaat).” (Rujukan: al-Mughni, 3/146. Lihat: Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403) Jika seorang musafir mengimami beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu secara lengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya). (Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 12/260). (Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 270-271) 20. Apabila DI-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) oleh mukim, tetap menyempurnakan shålatnya Ibnu ‘Abbas rahimahullah (ketika bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim) dan dua rakaat (Qashar) jika shalat sendirian.(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 17 (688)) Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan: “Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jika seorang musafir melakukan takbiratul ihram di belakang orang yang bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakan shalat separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat)”. (at-Tamhiid, 16/311-312) “Mereka yang bermusafir ketika menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan imamnya (shalat sempurna/empat rakaat). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 271) 21. Tidak ada shålat sunnah kecuali shalat sunnah fajar, witir dan shalat sunnah muthlaqåh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Kegigihan dan kesungguhan Rasulullah (ﷺ) dalam memelihara shalat sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalat sunnah yang lainnya sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika dalam perjalanan mau pun ketika sedang di rumah… Tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah (ﷺ) mengerjakan shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam perjalanannya.” (Rujuk: Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/315) Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim, ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat witr yang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan sebelum shalat subuh. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama telah sepakat untuk menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalat sunnah mutlak (shalat-shalat sunnah yang tidak memiliki sebab khusus untuk ia dilakukan) dalam perjalanan.” (Syarhun Nawawi ‘alaa shahih Muslim, 5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 269) 22. Tidak ada shålat jum’at bagi sesama musafir Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Tidak ada shalat Jum’at bagi Musafir”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih] Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak melaksanakan shalat Jum’at ketika safar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya hasan, namun shahih dengan riwayat mauquf Al-Baihaqiy di awal]. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka’at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/20] dengan sanad yang shahih; dari abul-jauzaa] dari Al-Hasan : Bahwasannya ‘Abdurrahman bin Samurah pernah berada di negeri Kaabul (Afghanistan) pada musim dingin selama semusim atau dua musim. Ia tidak melakukan shalat Jum’at, dan ia shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; abul-jauzaa]. Dari Ats-Tsauriy, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, ia berkata : “Mereka tidak mengerjakan shalat Jum’at ketika safar. Dan mereka tidaklah shalat kecuali dua raka’at” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 3/173-174 no. 5202; sanadnya shahih]. ‘Mereka’ yang dimaksud Ibraahiim An-Nakha’iy ini adalah beberapa tabi’in dan shahabat yang semasa dengannya, karena ia sendiri termasuk tabi’iy kecil (thabaqah ke-5, wafat tahun 196 H). [dari abul-jauzaa] dari Mak-huul, ia berkata : “Tidak ada kewajiban bagi musafir shalat ‘Iedul-Adlhaa, shalat ‘Iedul-Fithri, dan shalat Jum’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; dari abul-jauzaa]. dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata : “Masruuq, ‘Urwah, Al-Mughiirah, dan sejumlah orang dari kalangan shahabat ‘Abdullah pernah keluar untuk safar. Tibalah hari Jum’at, namun mereka tidak shalat Jum’at. Dan tiba pula hari ‘Iedul-Fithri, namun mereka tidak shalat ‘Ied” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; dari abul-jauzaa]. dari Ibraahiim : “Shahabat-shahabat kami pernah berperang selama kurang lebih setahun, dimana mereka menqashar shalat namun tidak melakukan shalat Jum’at” [idem, sanadnya shahih; dari abul-jauzaa]. dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq 3/172 no. 5197; sanadnya shahih; dari abul jauzaa] Berkata Ibnul Mundzir: “Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam safar-safarnya tentu pernah melewati hari Jum’at. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jum’at dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhur di ‘Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jum’at. Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Al-Ausath, 4/20; dari abul-jauzaa] Berkata al Imaam ibnul Qudaamah: “…Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam biasa melakukan safar, namun beliau tidak melakukan halat Jum’at dalam safarnya itu. Dan ketika dalam haji wada’ di ‘Arafah pada hari Jum’at, beliau shalat Dhuhur dan menjamaknya, tanpa melakukan shalat Jum’at. Hal yang sama dengan Al-Khulafaaur-Raasyidiin radliyallaahu ‘anhum dimana mereka biasa bersafar untuk haji dan selainnya tanpa ada seorang pun dari mereka melakukan shalat Jum’at dalam safarnya. Begitu pula dengan shahabat-shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lainnya dan orang-orang setelah mereka….” [Al-Mughniy, 3/216; dari abul-jauzaa] Ini berlaku bagi sesama musafir yang melewati atau menempati suatu daerah yang disafarinya, dan tidak ada disana orang mukim. Maka sesama mereka tidak shalat jum’at, tidak pula shalat ‘id. Wallaahu a’lam. 23. Tetap mendatangi shalat jum’at dan jama’ah apabila melewati kampung yang mengumandangkan adzan, atau telah sampai ditempat safarnya dan mendengar adzan Rasuulullaah shallalaahu ‘alayhi wa sallam bersabda: الجمعة على كل من سمع النداء Shalat Jumu’at diwajibkan atas SETIAP yang mendengar adzan (Hasan; HR Abu Daawud) Ma’mar pernah bertanya kepada az-Zuhriy tentang musafir yang melewati satu kampung/desa yang bertepatan dengan hari Jum’at, maka ia menjawab : إذا سمع الاذان فليشهد الجمعة “Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri shalat Jum’at” [Shahiih; diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq 3/174 no. 5205; kutip dari ustadz abul-jauzaa] Demikian pula shalat jama’ah, berdasarkan keumuman hadits: من سمع النداء فلم يجب فلا صلاة له إلا من عذر “Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian tidak memenuhinya maka tidak ada sholat baginya kecuali orang yang memiliki udzur.” Diatas dikatakan من سمع النداء, , sedangkan من disini umum, berlaku pada mukim maupun musafir. Demikian pula النداء itu umum, apakah itu adzan shalat jum’at ataukah adzan shalat lima waktu. Maka perintah diatas ini berlaku untuk shalat jum’at maupun shalat berjama’ah. Sekalipun musafir telah menjama’-taqdim shalatnya (sebelum keberangkatan atau ditengah perjalanannnya), tapi ketika ia melewati daerah atau telah sampai di temapt safarnya dan masuk shalat berikutnya dan ia mendengar adzan, maka hendaknya ia shalat kembali bersama orang-orang mukim. Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda: إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ Jika kamu mendapati (imam dan jama’ahnya sedang shalat) maka shalatlah bersama manusia, meskipun engkau SUDAH SHALAT Juga sabda beliau: فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ Jika engkau mendapati (shalat) bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka), sesunggunya shalatmu (bersama mereka) adalah naafilah Juga sabda beliau: صل الصلاة لوقتها؛ فإن أدركت معهم فصل، ولا تقل قد صليت، فلا أصلي Shalatlah pada waktunya; dan jika engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka); JANGAN ENGKAU KATAKAN: ‘aku sudah shalat, maka aku tidak shalat lagi (bersama mereka)’ Maka: => Sekalipun seorang musafir telah menjama’-taqdim shalatnya, tapi ia melewati daerah yang dikumandangkan adzan waktu shalat berikutnya; atau ia sudah sampai ke tempat safarnya dan ia mendapati adzan; maka hendaknya ia tetap mendatangi masjid dan shalat bersama orang-orang mukim, meskipun ia telah shalat. => KELIRU. Jika seorang musafir yang telah sampai ditempat tujuannya; tapi malah shalat di hotel/aula/rumah bersama sesama musafir, padahal disekitarannya masih ada masjid. Hendaknya ia shalat di masjid bersama orang-orang mukim. 24. Disunnahkan untuk tidak puasa bagi yang kepayahan, dan dianjurkan puasa bagi yang mampu Pertanyaan: Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya puasa musafir padahal ia merasa berat ? Jawaban: Apabila puasa dirasa memberatkan dan membebaninya maka itu menjadi makruh hukumnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang pingsan, orang-orang disekitar beliau berdesak-desakan, beliau bertanya : “Kenapa orang ini?”. Mereka menjawab. “Dia berpusa”. Beliau bersabda : “Puasa di waktu bepergian bukanlah termasuk kebaikan” [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)] Adapun bila terasa berat atasnya puasa dengan kepayahan yang sangat maka wajib atasnya berbuka, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala orang banyak mengadukan kepada beliau bahwa mereka merasa berat berpuasa (tatkala bepergian, -pent) Nabi menyuruh mereka berbuka, lalu disampaikan lagi kepada beliau, “Sesungguhnya sebagian orang tetap berpuasa”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mereka itu ahli maksiat! Mereka itu pelaku maksiat!” [Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di bulan Ramadhan bagi musafir selain tujuan maksiat (1114)] Sedangkan bagi orang yang tidak mengalami kepayahan untuk berpuasa, yang paling afdhal adalah tetap berpuasa meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala beliau tetap berpuasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan di panas terik yang menyengat, tiada seorangpun dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah” [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)] [Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah,http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0] 25. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai urusannya dan tanpa menunda-nunda Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut agar segera kembali kepada keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari). Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari keluarganya lebih dari keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan di saat kepergiannya. Diamnya berkumpul bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau duniawiyah. Lagi pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan kekuatan dalam pelaksaan ibadah” (Fathul Bari (3/730)). 26. Makruh bagi seorang musafir pulang menjumpai keluarganya di malam hari tanpa menginformasikan sebelumnya Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.” Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah mengetuk pintu rumah istrinya hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.” Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak mendatanginya di malam hari, sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan istrinya yang tidak rapi. Dari hadits-hadits ini juga dianjurkannya para istri untuk berhias untuk suaminya untuk melayani suaminya yang baru datang dari safar. 27. Disunnahkan shalat dua rakaat bagi musafir ketika kembali ke negerinya Diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari suatu perjalanan maka yang pertama kali segera beliau lakukan shalat di masjid dua raka’at. Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan : Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha,beliau mendatangi masjid lalu mengerjakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk “(HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad). 28. Apabila telah sampai di rumah, maka disunnahkan berjima’ dengan istri Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, (yang artinya) “Artinya : Jangan tergesa-gesa hingga engkau dapat datang pada waktu malam -yaitu ‘Isya’- agar ia (isterimu) sempat menyisir rambut yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. Selanjutnya, hendaklah engkau menggaulinya” (HR. Bukhåriy, Muslim, Ahmad, al-Baihaqiy dan selainnya) Hal ini adalah Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Ka’ab bin Malik radhiyallaahu ‘anhu ketika ia tidak ikut perang Tabuk dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3088) dan Muslim (no. 716 (74)). [sumber: Buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006; dari almanhaj] Semoga risalah singkat ini bisa bermanfa’at bagi kita, dam semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya, memahaminya dengan baik dan benar, serta mengamalkannya dengan benar; dengan sebaik-baiknya. Disusun: Abu Zuhriy al-Gharantaliy ( https://abuzuhriy.wordpress.com ) Artikel www.asysyamil.com
 
Copyright © 2015. Sakila Jogja
designed by webmurmer.com